Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Kadek Agung Sedih Bali United Kebobolan Di Menit Akhir
Olahraga
19 jam yang lalu
Kadek Agung Sedih Bali United Kebobolan Di Menit Akhir
2
Madura United Persembahkan Kemenangan Untuk Suporter
Olahraga
19 jam yang lalu
Madura United Persembahkan Kemenangan Untuk Suporter
3
PSSI Terima Kasih pada Suporter Yang Dukung Timnas Indonesia
Olahraga
16 jam yang lalu
PSSI Terima Kasih pada Suporter Yang Dukung Timnas Indonesia
4
Riski Afrisal Langsung Fokus Penuh Untuk Laga Leg Kedua
Olahraga
19 jam yang lalu
Riski Afrisal Langsung Fokus Penuh Untuk Laga Leg Kedua
5
Borneo FC Sudah Tampilkan Yang Terbaik, Angga Saputro: Masih Ada Peluang
Olahraga
18 jam yang lalu
Borneo FC Sudah Tampilkan Yang Terbaik, Angga Saputro: Masih Ada Peluang
6
Rizky Akan Terus Jaga Performa Menuju Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
15 jam yang lalu
Rizky Akan Terus Jaga Performa Menuju Olimpiade 2024 Paris
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Jaksa Agung Nilai KPK Melanggar MoU, DPR: KPK Merasa Paling Super, Jadi Sewenang-wenang

Jaksa Agung Nilai KPK Melanggar MoU, DPR: KPK Merasa Paling Super, Jadi Sewenang-wenang
Ilustrasi.
Kamis, 12 Oktober 2017 12:50 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Setelah sempat terjadi polemik antara institusi TNI dengan Polri, kini publik kembali disajikan benih 'pertikaian' antara dua lembaga negara. Kali ini, Jaksa Agung HM Prasetyo menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyalahi perjanjian antarinstitusi.

Jaksa Agung HM Prasetyo menyayangkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang tak lagi mematuhi nota kesepahaman (MoU) dengan Polri dan Kejaksaan jika ada penangkapan terhadap personel tiga lembaga penegak hukum tersebut.

Mantan politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini mengatakan, hal itu terjadi saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan.

"Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang ditunjukkan kepada jaksa itu bukan untuk kasus itu (Pamekasan). Tapi tampaknya mereka (KPK) punya semangat dan target di manapun mereka turun harus ketemu apapun kasusnya," kata Prasetyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/10/2017).

Ia mengaku telah mengingatkan KPK agar tak langsung menangkap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, melainkan mencegah terlebih dahulu tindak pidananya.

Prasetyo juga mengaku sempat diundang KPK untuk hadir dalam konferensi pers terkait OTT Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan.

Namun, Kejaksaan memilih tak hadir untuk menghindari penyikapan negatif dari publik saat mengeluarkan pernyataan. "Bahkan waktu itu kami sempat diundang KPK untuk bersama-sama mengumumkan tersangka dalam kasus itu. Kami tidak hadir, silakan mereka bicara. Tak perlu bicara dengan kami karena kami hanya beralasan saja dan akan mengundang sinisme dari masyarakat saja," kata dia.

Pada 2 Agustus 2017, KPK melakukan operasi tangkap tangan di Pamekasan, Jawa Timur. Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya diduga menerima suap untuk menghentikan penanganan kasus korupsi penyelewengan dana desa.

KPK, Polri, dan Kejaksaan telah membuat Memorandum of Understanding terkait proses hukum di antara tiga lembaga tersebut. Dalam Pasal 3 poin 5 pada MoU tersebut, diatur juga soal pemeriksaan anggota dari salah satu penegak hukum oleh lembaga penegak hukum lain.

Mereka sepakat adanya pemberitahuan kepada pimpinan personel yang diperiksa sebagai saksi dan adanya pendampingan hukum. Padahal, dalam undang-undang diatur bahwa pemeriksaan saksi tidak boleh didampingi oleh penasihat hukum.

Ada pula kesepakatan soal penggeledahan personel penegak hukum yang diduga terkait kasus hukum. Pimpinan personel itu juga harus diberitahu soal penggeledahan.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap melanggar kesepakat MoU dengan Kejaksaan Agung. Hal ini diungkapkan Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Junirmart Girsang.

Menurutnya, sebagai lembaga penegak hukum harusnya KPK benar-benar memegang prinsip konsitensi. "Sejak ditangkapnya Kajari Pamekasan dan dibawanya Kasi Intel dan Kasi pidsus pamekasan, kami mempertanyakan tentang eksistensi MoU tersebut," ujarnya kepada GoNews.co, Kamis (12/10/2017).

Lanjutnya, dalam MoU itu dikatakan bahwa bila lembaga penegak hukum ingin melakukan kegiatan menyangkut lembaga lain, maka lembaga ini harus berkomunikasi dan ini tidak dilakukan KPK.

"Sementara mereka (kejaksaan, red) bilang akan merevaluasi kembali MoU itu apakah patut dipertahankan atau dihapus saja ini kan perlu dibahas kembali," tukasnya.

Yang lebih menarik kata dia, adalah pendapat dari Kapolri bahwa penyadapan harus sesuai UU, tidak boleh dengan sewenang-wenang. "Misalnya  penyadapan harus dilakukan dengan izin dari pengadian, penyadapan itu dlakukan untuk mencari buronan-buronan, tidak boleh lakukan penyadapan untuk menjebak orang lain atau dengan istilanya OTT," tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan anggota Komisi III lainnya yakni Nasir Djamil. Menurutnya, KPK menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum.

"Mou itu seperti orang besanan, kalau orang berbesanan itu kan saling mengingatkan. kalau anaknya salah, maka saling ingatkan. KPK jadikan MoU itu hanya formalitas saja. kedepan harus diatur kembali," tandasnya.

"Senin depan kita undang KPK, Polri, Kejagung untuk mensinkronkan dan mesinergikan pemberantasan korupsi, terutama pencegahan. Mungkin karena merasa paling hebat, paling super dan merasa diatas segala-galanya, jadi KPK berbuat seenaknya," pungkasnya.***

Sumber:tribun dan GoNews.co
Kategori:GoNews Group, Peristiwa, Pemerintahan, Politik, DKI Jakarta
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/