Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Sebagai PSN Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B Harus Didukung
Pemerintahan
23 jam yang lalu
Sebagai PSN Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B Harus Didukung
2
Borneo FC Kecewa Gagal Ke Final, Akui Permainan Tak Sesuai Harapan
Olahraga
24 jam yang lalu
Borneo FC Kecewa Gagal Ke Final, Akui Permainan Tak Sesuai Harapan
3
Jakpro Helat TIM Art Festival Mulai 30 Mei 2024
Umum
23 jam yang lalu
Jakpro Helat TIM Art Festival Mulai 30 Mei 2024
4
Tak Ada Insiden Saat Madura United FC Kembali Ke Hotel
Olahraga
24 jam yang lalu
Tak Ada Insiden Saat Madura United FC Kembali Ke Hotel
5
Dua Klub Pastikan Lolos Ke Babak Final Championship Series BRI Liga 1 2023/24
Olahraga
24 jam yang lalu
Dua Klub Pastikan Lolos Ke Babak Final Championship Series BRI Liga 1 2023/24
6
Arema FC Evaluasi Pemain Asing Dan Pulangkan Pemain Muda
Olahraga
23 jam yang lalu
Arema FC Evaluasi Pemain Asing Dan Pulangkan Pemain Muda
Home  /  Berita  /  Politik

Perpanjang Masa Jabatan Presiden Bentuk Pengkhianatan Terhadap UUD 1945

Perpanjang Masa Jabatan Presiden Bentuk Pengkhianatan Terhadap UUD 1945
Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) saat beraudiensi dengan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/3/2022). (Foto: Humas DPD RI)
Senin, 28 Maret 2022 21:27 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy

JAKARTA - Perpanjangan masa jabatan presiden merupakan bentuk pengkhianatan terhadap UUD 1945. 

Pernyataan itu disampaikan sejumlah elemen bangsa, ormas, mahasiswa, aktivis yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) saat beraudiensi dengan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/3/2022).

Hadir dalam acara itu Dewan Pengurus PNKN, Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara dan Jenderal TNI (Purn) Sunarko; Letjen Mar (Purn) Soeharto, Guru Besar Universitas Indonesia yang juga pegiat UI Watch, Taufik Bahauddin; Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, Eggy Sudjana dan Habib Muchsin Alatas, sejumlah aktivis pergerakan, mahasiswa dan aliansi rakyat lainnya.

Koordinator PNKN Abdullah Hehamahua menyampaikan banyak fenomena yang mengkhawatirkan terjadi selama tujuh tahun pemerintahan Presiden Jokowi. Fenomena itu dikhawatirkan akan membuat rakyat marah dan berpotensi adanya pergantian kepemimpinan nasional seperti pada tahun 1967 dan 1998.

Oleh karena itu PNKN meminta agar berbagai fenomena tersebut disikapi oleh DPD RI, sebagai lembaga yang sampai saat ini masih dipercaya oleh rakyat.

"Tujuh tahun pemerintahan, kami ini khawatir terhadap bubarnya NKRI, terbelahnya anak bangsa, penginjakan konstitusi serta rakyat yang sangat terjajah oleh oligarki," ujar dia.

Sementara, Marwan Batubara membacakan beberapa poin rekomendasi dan pokok pikiran yang harus disikapi oleh DPD RI. 

Poin pertama terkait wacana pengunduran Pemilu, Presiden dianggap tidak tegas karena tidak melarang munculnya opini dan wacana soal itu.

"Presiden malah mengatakan kalau wacana itu merupakan bentuk demokrasi. Artinya dia tidak tegas melaksanakan UUD 1945. Presiden tidak sadar bahwa demokrasi Pancasila adalah kebebasan masyarakat dalam berpendapat berdasarkan sila 1 Pancasila. Bukan demokrasi liberal seperti di luar negeri," katanya.

Poin selanjutnya yaitu fakta adanya beberapa pimpinan partai yang menyatakan dukungan terhadap penundaan Pemilu dengan alasan Pandemi dan pemulihan ekonomi nasional. 

"Padahal pada Pilkada tahun 2021 saat Covid sedang tinggi, pemilihan tetap digelar. Jadi alasan Pandemi sangat tidak rasional. Juga alasan pemulihan ekonomi  dimana justru pemerintah berambisi untuk memindahkan IKN dengan biaya Rp466 triliun," paparnya lagi.

PNKN menilai para pimpinan partai itu mendukung wacana penundaan Pemilu karena adalah tekanan psikologis akibat berita-berita keterlibatan mereka dengan aparat hukum terkait isu KKN. Kondisi psikologis itu dimanipulasi oleh individu menteri dan pejabat tinggi yang kongkalikong dengan oligarki untuk memeras rakyat.

"Buktinya adalah kelangkaan dan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok yang terjadi belakangan ini," jelas Marwan lagi.

Dilanjutkan Marwan, sebagai lembaga negara yang merupakan bagian dari MPR, DPD RI perlu melakukan Sidang MPR untuk mengevaluasi kinerja Presiden dan Wakil Presiden apakah melanggar UUD 1945 atau tidak.

"DPD RI dapat melakukan hal ini dengan menakar pelaksanaan RPJM dan janji-janji Presiden, khususnya yang disampaikan saat kampanye Pilpres 2914 dan 2019," paparnya.

"Makanya DPD RI mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab konstitusional untuk segera melakukan Sidang Umum MPR itu," katanya.

PNKN juga berharap DPD RI pro aktif dan bermitra dengan DPR RI maupun lewat Sidang MPR untuk semua kebijakan pembangunan yang sarat dengan intervensi oligarki melalui apa yang disebut korupsi politik.

"Korupsi politik merupakan bentuk korupsi yang dilakukan melalui Pemilu, Pilkada dan Peraturan Perundangan yang secara tertulis terlihat baik, padahal untuk kepentingan kelompok tertentu, khususnya oligarki," katanya.

Demi menyelamatkan eksistensi NKRI, kewibawaan Konstitusi dan nasib rakyat kecil, PNKN dan sejumlah aliansi rakyat meminta poin-poin tersebut diperhatikan serius oleh DPD RI.

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang didampingi anggota DPD RI Tamsil Linrung (Sulsel), Alirman Sori (Sumbar) dan Bustami Zainudin (Lampung) dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Togar M Nero dan Brigjen Pol Amostian, berharap diskusi dan dialog serupa terus berjalan. Dengan berdialog, satu persatu permasalahan bangsa akan menemukan solusinya.

"Kami berharap bisa rutin berdialog. Jadikan DPD RI sebagai rumah aspirasi. Kami terbuka dan siap menampung semua aspirasi rakyat," katanya.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/