Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Gerindra Siapkan Empat Tokoh Ini untuk Pilkada DKI
Pemerintahan
8 jam yang lalu
Gerindra Siapkan Empat Tokoh Ini untuk Pilkada DKI
2
PSM Makassar dan Borneo FC Resmi Ikuti ASEAN Club Championship
Olahraga
8 jam yang lalu
PSM Makassar dan Borneo FC Resmi Ikuti ASEAN Club Championship
3
Haris Muhammadun Mantap Melaju Sebagai Wakil Wali Kota Tangerang
Pemerintahan
8 jam yang lalu
Haris Muhammadun Mantap Melaju Sebagai Wakil Wali Kota Tangerang
4
Indonesia Gagal Raih Tiket ke Olimpiade 2024 Paris, Shin Tae-yong Kena Kartu Merah
Olahraga
4 jam yang lalu
Indonesia Gagal Raih Tiket ke Olimpiade 2024 Paris, Shin Tae-yong Kena Kartu Merah
5
Gagal ke Olimpiade 2024 Paris, Iwan Bule Tetap Apresiasi Perjuangan Garuda Muda
Olahraga
4 jam yang lalu
Gagal ke Olimpiade 2024 Paris, Iwan Bule Tetap Apresiasi Perjuangan Garuda Muda
6
Erick Thohir, Terima Kasih Garuda Muda,Terima Kasih Indonesia
Olahraga
4 jam yang lalu
Erick Thohir, Terima Kasih Garuda Muda,Terima Kasih Indonesia
Home  /  Berita  /  Pemerintahan

Anggota DPD: Kepala Daerah di Papua Tak Boleh dari Perwira Aktif

Anggota DPD: Kepala Daerah di Papua Tak Boleh dari Perwira Aktif
Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma dalam suatu kesempatan. (foto: ist.)
Senin, 24 Januari 2022 15:52 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Filep Wamafma berpandangan, ada dua opsi yang dapat dilaksanakan sebelum adanya gubernur terpilih untuk masing-masing provinsi baru di tanah Papua. Hal tersebut Ia sampaikan kepada wartawan di Jakarta, Senin (24/1/2022).

Opsi tersebut, kata Filep, pertama, penunjukan karakter gubernur (penjabat gubernur) dan kedua, perpanjangan masa jabatan gubernur dalam masa persiapan pemerintahan pada wilayah pemekaran baru atau Daerah Otonom Baru (DOB).

Pada opsi pertama, Penjabat (Pj) Gubernur diangkat dari unsur jabatan pimpinan tinggi madya hingga adanya pelantikan gubernur terpilih sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

"Secara umum didasarkan pada Pasal 201 ayat (10) UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang menyebutkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," jelasnya sebagaimana dikutip GoNEWS.co.

Ia menambahkan, pada pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) juga dijelaskan bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas jabatan pimpinan tinggi utama, jabatan pimpinan tinggi madya, dan jabatan pimpinan tinggi pratama. Jabatan pimpinan tinggi madya ini meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.

Ia menuturkan, demikian halnya juga disebutkan dalam Pasal 4 ayat 2 Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota, yaitu bahwa Penjabat Gubernur dapat berasal dari "setingkat" pejabat pimpinan tinggi madya.

"Berdasarkan kedua UU dan Permendagri di atas, maka alangkah tidak masuk akal dan tidak sah secara hukum bila anggota kepolisian aktif diangkat menjadi penjabat gubernur, apalagi di Papua/Papua Barat. Dalam konteks pemekaran wilayah Papua, penunjukan penjabat gubernur sepantasnya mengedepankan asas afirmatif, dimana ditunjuk ASN Asli Papua yang memenuhi kriteria untuk diangkat sebagai caretaker gubernur, misalnya di level sekretaris daerah," terang senator dari Papua Barat itu.

Menurutnya, peran Kemendagri harus diperkuat karena tugas dan fungsi yang serupa dengan Kepala Daerah Provinsi adalah tugas dan fungsi Kemendagri yaitu menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Selanjutnya, apabila tidak diangkat Penjabat Gubernur, maka opsi kedua yakni memperpanjang masa jabatan gubernur perlu dipertimbangkan dalam rangka persiapan pelaksanaan pemekaran di wilayah Papua.

"Maka dalam rangka pemekaran Papua, Kemendagri perlu melakukan pemetaan terkait ASN Orang Asli Papua yang memenuhi syarat untuk menjadi penjabat kepala daerah. Menunjuk orang di luar syarat yang ditentukan UU, sama dengan melawan pada diri sendiri. Oleh karena hal ini terkait pelaksanaan pemekaran wilayah Papua, maka harus diangkat ASN Orang Asli Papua yang memenuhi syarat untuk menjadi penjabat Gubernur, karena ia telah mengetahui keberlanjutan pelaksanaan pemekaran wilayah. Jika tidak demikian, maka sebaiknya jabatan gubernur diperpanjang dalam rangka pemekaran wilayah," jelasnya.***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:Pemerintahan, DPD RI, Papua, Papua Barat
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/