Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
PSIS Kantongi Licensing AFC Challenge League Dan BRI Liga 1
Olahraga
21 jam yang lalu
PSIS Kantongi Licensing AFC Challenge League Dan BRI Liga 1
2
Heru Budi Hartono Tinjau Lokasi Pembebasan Lahan Normalisasi Kali Ciliwung
Pemerintahan
21 jam yang lalu
Heru Budi Hartono Tinjau Lokasi Pembebasan Lahan Normalisasi Kali Ciliwung
3
Senator Dailami Sesalkan Pengelola Minimarket Memukul Bukan Merangkul Jukir
DKI Jakarta
21 jam yang lalu
Senator Dailami Sesalkan Pengelola Minimarket Memukul Bukan Merangkul Jukir
4
Musisi dan Wartawan yang Tergabung di PSKI Sukses Gelar Halalbihalal
Umum
18 jam yang lalu
Musisi dan Wartawan yang Tergabung di PSKI Sukses Gelar Halalbihalal
5
Avril Lavigne Anggap Teori Konspirasi Tentangnya Sebagai Bukti Awet Muda
Umum
16 jam yang lalu
Avril Lavigne Anggap Teori Konspirasi Tentangnya Sebagai Bukti Awet Muda
6
Arema FC Gandeng Apparel Nasional Musim Depan
Olahraga
21 jam yang lalu
Arema FC Gandeng Apparel Nasional Musim Depan
Home  /  Berita  /  Lingkungan

Tiga Permasalahan Penanganan Hoax di Indonesia Menurut Agus Sudibyo

Tiga Permasalahan Penanganan Hoax di Indonesia Menurut Agus Sudibyo
Rabu, 11 Januari 2017 12:36 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Beberapa waktu belakangan, marak berita palsu atau hoax. Merespon hal itu, pemerintah bersama masyakarat mengambil langkah-langkah untuk mencegah beredarnya kabar hoax yang memberikan dampak negatif kepada masyarakat.

Menanggapi langkah-langkah penanganan fenomena hoax di media sosial, pendiri Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo mencatat tiga permasalahan penanganan fenomena hoax melalui sosial media (sosmed) di Indonesia.

"Pertama, fokus tindakan terkesan hanya kepada pihak yang membuat Hoax," ujarnya kepada GoNews.co, Rabu (11/1/2017) di Jakarta.

Dikatakan Agus, jika kita merujuk pada kasus Eropa, fokus penanganan terutama adalah pada perusahaan penyedia layanan sosmed yang menyebarkan Hoax. Perusahaan ini didenda 7 milyar jika tidak berhasil mengendalikan Hoax dalam 24 jam.

Selain itu, tambah Agus, perusahan ini juga harus mendirikan "kantor pelayanan hoax 24 jam" yang melayani pengaduan masyarakat.

"Jadi harus dibedakan tanggung jawab pemilik akun media sosial dan perusahaan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan seterusnya," kata Agus lagi.

Kedua, fokus penanganan adalah bagaimana memblokir websitenya, tindakan polisional kepada para pelaku. Ini memang penting, tapi kalau belajar dari negara lain, pendidikan literasi new media jauh lebih menyelesaikan masalah.

Ditegaskan Agus, masyarakat harus dididik bagaimana menghindari Hoax, menghadapi Hoax dengan rileks dan tidak mudah terpancing.

"Pendidikan literasi media ini tugas pemerintah, karena pemerintah yang mengizinkan Facebook, Twitter beroperasi di Indonesia," ujar Agus.

Permasalahan ketiga, jika ada satu dua tulisan di website yang Hoax, apa seluruh websitenya harus diblokir? Agus pun mempertanyakan apa batas-batas Hoax, apa bedanya dengan kritik?

Menurutnya, jika tidak hati-hati, ini akan menimbulkan serangan balik ke pemerintah karena dianggap serampangan dan tidak sensitif terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi.

Dalam konteks inilah, Agus meminta pemerintah bersikap tegas terhadap Facebook, Twitter supaya menjadi badan hukum di Indonesia yang hak dan kewajibannya jelas sebagai perusahaan media.

Terkait pemblokiran situs, Agus meminta pemerintah agar disertai alasan dan mekanisme yang proper dan tidak terkesan reaktif.

"Literasi new media harus menjadi gerakan nasional, dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional," pungkasnya. ***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/